Unsur Intrinsik Cerpen Dokter
UNSUR
INTRINSIK CERPEN DOKTER
Karya Putu Wijaya
1) Tema : kesalahpahaman
masyarakat awam tentang tugas dokter
2)Latar waktu :
a)
Malam hari
Pada
suatu malam, saya dijemput untuk mengobati orang yang menurut dukun
dapat kiriman ular berbisa dalam
perutnya. Ketika sampai di Puskesmas, saya lihat tubuh orang itu sudah kaku. Dia pasti sudah
meninggal di rumahnya. Tetapi keluarganya memaksa saya untuk mengeluarkan ular itu.
b)
Pagi hari
Pagi-pagi
pintu digedor. Orang-orang itu berteriak-teriak tidak
sabar, ingin tahu apa hasilnya.
Tubuh yang meninggal pun sudah mulai berbau. Wajahnya meringis kesakitan, seakan-akan minta cepat-cepat dikuburkan.
Waktu itu saya tidak berpikir lagi seperti seorang
dokter sebagaimana yang saya pelajari di kampus. Saya terpaksa menjadi dukun.
c)
Subuh
Semalam suntuk saya tidak bisa
memejamkan mata. Subuh, pintu dibuka dan anak kepala suku beserta seluruh prajurinya yang berang itu
menatap saya.
“Berhasil Dokter?”
Tubuh saya gemetar.
“Jangan
kecewakan kami Dokter!
3) Latar tempat :
a)
Puskesmas
Pada suatu malam, saya dijemput
untuk mengobati orang yang menurut dukun dapat kiriman
ular berbisa dalam perutnya. Ketika sampai di Puskesmas, saya lihat
tubuh orang itu sudah kaku. Dia pasti sudah meninggal di rumahnya.
Tetapi keluarganya memaksa saya untuk mengeluarkan
ular itu.
4) Latar suasana :
a)
Cemas
“Pak Dokter harus tolong kami. Dia
itu kepala keluarga. Hidup-mati kami tergantung pada dia!”
“Tapi sudah terlambat.”
“Terlambat bagaimana, kami sudah
bawa ke mari pakai taksi! Uang kami sudah banyak keluar!”
“Tapi sebelum dibawa ke mari
nampaknya dia sudah tidak ada!”
“Itu tidak mungkin! Setiap hari lima
orang dukun kami bergantian menjaga dia Tidak mungkin
roh jahat itu bisa masuk lagi. Pak Dokter mesti keluarkan ular itu dari perutnya!”
“Kalau toh itu benar ada ular
dikirim ke perutnya, tidak ada gunanya, sebab orangnya sudah meninggal.”
“Makanya keluarkan ular itu cepat,
Pak Dokter jangan ngomong terus!”
“Kami memang miskin, tidak bisa
bayar, tapi ini kewajiban Dokter mesti tolong kita punya kepala keluarga!”
“Jangan bikin kami tambah susah
Dokter! Mentang-mentang kami orang kecil!”
“Cepat
bertindak!”
b)
Tegang
Saya tidak mampu menjawab. Anak
kepala suku itu sangat kcewa. Mukanya langsung keruh.
Semua pengikutnya marah lalu berteriak-teriak histeris. Mereka melolong seperti
binatang liar. Saya ketakutan. Para
prajurit itu mengangkat senjata seperti hendak mencencang
apa saja yang ada di Puskesmas. Semua pegawai meloncat lari menyelamatkan diri.
Karena bingung saya mundur
menghampiri meja. Dengan panik, di belakang punggung tangan saya meraba-raba mencari sesuatu untuk bertahan. Kalau
saya harus mati, saya tidak mau mati
terlalu konyol. Kalau kalah, kalahlah dengan indah dan gagah, pesan orang tua saya waktu kecil.
Harapan saya ada gunting, pisau atau
barang tajam lainnya, tidak terkabul. Di laci, tangan saya hanya menemukan copotan besi bendera mobil yang
dikibarkan pada peringatan hari kemerdekaan.
Saya genggam besi itu, lalu mencoba mengambil posisi bertahan. Saya bukan lagi dokter, saya penakut yang
tiba-tiba begitu mencintai hidup walau betapa pun brengseknya. .
“Diam!!!!” teriak anak kepala suku
itu dengan suara menggeledek.
Teriakannya membuat semua terdiam.
Saya gemetar. Besi bendera itu terlepas, tetapi cepat saya gapai lagi, itulah satu-satunya pegangan saya.
Anak kepala suku itu menghampiri
saya, hangat nafasnya membuat saya tersiraf.
“Jangan tembak!!!”
Dengan
gemetar saya tunjukkan tiang bendera itu.
5) Penokohan
-Tokoh
utama : Aku (dokter)
karena
tokoh "aku" dalam cerpen tersebut mengambil bagian terbesar dalam
peristiwa cerita,dengan kata lain
tokoh dokter merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan dan memegang peranan penting dalam
setiap peristiwa yang diceritakan.
-tokoh
pembantu : Dukun,Keluarga pasien, putra kepala suku
karena
mereka hanya muncul beberapa kali dan munculnya tidak dari awal sampai akhir cerita, melainkan pada komplik tertentu
ü Orang-orang
itu terdiam. Mereka hanya memandang amplop yang saya berikan. Tapi kemudian dukun
perlahan-lahan maju. Ia memperhatikan amplop yang saya tunjukkan.
Diendus-endusnya dari jauh. Setelah mengucapkan mantera lalu ia mengulurkan
japit untuk mengambilnya. Setelah merobek dan mengeluarkan isinya, ia
menghitung. Bahkan sampai tiga kali. Kemudian ia melihat kepada orang-orang
itu, lantas membagikan uang sambil menahan beberapa di tangannya.
ü Disaksikan
keluarganya, saya bedah mayat itu. Saya buktikan tidak ada ular di perutnya
seperti kata dukun. Dia mati karena kurang gizi dan salah menegak ramu-ramuan
dukun. Tetapi meskipun sudah melihat kenyataan dengan mata kepalanya sendiri,
keluarganya tidak percaya. Mereka malah menuduh saya yang sudah terlambat bertindak.
“Kalau
pak Dokter langsung bertindak tadi, tidak akan terlambat.”
“Terlambat
bagaimana?!”
“Kata
dukun, ular itu sudah masuk ke dalam tulang-sumsumnya bersatu dengan darah. Di
bawa ke China pun dia akan tetap mati, apalagi hanya ke Puskesmas yang fasilitasnya
brengsek ini. Dokter tidak bertanggungjawab!”
“Dokter
harus bertindak!”
“Bertindak
bagaimana lagi? Paling banter saya bisa menulis surat kematian pasien supaya
bisa dibawa pulang!”
“Tidak
bisa! Kita tidak bisa bawa dia pulang dalam keadaan sudah jadi mayat. Dia harus
terus hidup! Dia kita bawa ke mari untuk maksud supaya dia bisa sembuh. Masak
Dokter mau kirim lagi dia pulang supaya jadi mayat. Kasihan keluarganya,
Dokter! Dia itu andalan hidup keluarganya, tahu?! Dia tidak boleh mati!”
“Tapi
ajal itu di tangan Tuhan, kita hanya bisa berusaha!”
“Makanya
kau harus berusaha terus Dokter!”
“Berusaha
bagaimana lagi?”
“Panggil!
Kejar sekarang!”
“Kejar
ke mana?”
“Ayo
kejar! Kata dukun dia belum jauh. Paling berapa kilometer. Kalau Dokter cepat
bertindak, tidak cuma ngobrol, dia pasri bisa disusul!”
“Disusul?”
“Ah, kau
lambat sekali. Beta bilang kejar! Kejar!”
Mereka
mendorong saya masuk ke dalam kamar, memaksa saya menarik orang mati itu
kembali dari kematiannya. Mereka bahkan bilang siap membantu saya dengan
senjata kalau nantinya harus berkelahi.
“Kami
bisa panggil kawan-kawan yang lain sekarang untuk bantu. Kami juga punya
saudara yang jadi perwira militer. Kita bisa pinjam senjata kalau memang perlu,
asal habis jam kantor!”
“Ayo Pak
Dokter, jangan terlalu banyak diskusi, nanti terlambat lagi! Kau ini dokter
atau mantri?!”
Saya
terpaksa kembali ke dekat mayat itu. Sepanjang malam mereka berjaga di sekitar
Puskesmas dengan segala macam senjata siap tempur. Ada yang menangis, berdoa
dan menyanyi. Dukun pun terus menjalankan upacara, mengeluarkan jampi-jampi
agar roh yang mereka anggap sudah diculik suku lain itu pulang.
ü Semalam suntuk saya tidak bisa memejamkan
mata. Subuh, pintu dibuka dan anak kepala suku beserta seluruh prajurinya yang
berang itu menatap saya.
“Berhasil Dokter?”
Tubuh saya gemetar.
“Jangan kecewakan kami Dokter!
Saya tidak berani menjawab.
“Kehormatan buat kami paling penting. Kami
boleh kelaparan karena tidak dapat binatang perburuan, boleh mati karena wabah
penyakit, boleh kocar-kacir karena kebakaran, gempa, banjir, longsor atau
letusan gunung berapi, tapi jangan sampai kalah dan menanggung malu.
Bapa orang kebal yang selalu menang dalam
pertempuran . Dia tidak boleh mati karena senjata lawan. Kehormatan kami akan
hilang selama-lamanya. Lebih baik kami musnah daripada menanggung malu karena
kalah!”
“Saya paham itu.”
“Kalau begitu hidupkan lagi Bapa.”
“Saya sudah berusaha.”
“Kami tidak mau hanya usaha. Kami mau ada
hasil!”
“Tapi .. “.
“Kalau satu hari tidak cukup, kami bisa
tunggu. Bila perlu sebulan atau setahun kami bisa tunggu di sini, asal dia bisa
hidup lagi. Bapa saya itu raja. Apa artinya orang-orang ini, kalau Bapa tidak
ada?”
“Ya itu saya juga mengerti sekali. Kapal
tidak bisa jalan tanpa nakhoda!”
“Makanya hidupkan lagi Bapaku. Otaknya rusak
juga tidak apa, asal hidup. Bapa saya itu lambang. Kami semua ada karena dia
hidup. Kalau dia mati, kami semua akan mati. Apa Dokter perlu nyawa pengganti?”
-tokoh
piguran : kepala keluarga (mayat), Petugas puskesmas
karen
pada cerpen ini tokoh-tokoh tersebut muncul dalam cerita hanya sekali,dan tanpa
melakukan dialog.
ü “Pak Dokter
harus tolong kami. Dia itu kepala keluarga. Hidup-mati kami tergantung
pada dia!”
“Tapi sudah
terlambat.”
“Terlambat
bagaimana, kami sudah bawa ke mari pakai taksi! Uang kami sudah banyak keluar!”
“Tapi sebelum
dibawa ke mari nampaknya dia sudah tidak ada!”
“Itu tidak
mungkin! Setiap hari lima orang dukun kami bergantian menjaga dia Tidak mungkin
roh jahat itu bisa masuk lagi. Pak Dokter mesti keluarkan ular itu dari
perutnya!”
“Kalau toh itu
benar ada ular dikirim ke perutnya, tidak ada gunanya, sebab orangnya sudah
meninggal.”
“Makanya
keluarkan ular itu cepat, Pak Dokter jangan ngomong terus!”
“Kami memang
miskin, tidak bisa bayar, tapi ini kewajiban Dokter mesti tolong kita punya kepala
keluarga!”
ü Saya tidak mampu menjawab. Anak kepala suku
itu sangat kecewa. Mukanya langsung keruh. Semua pengikutnya marah lalu
berteriak-teriak histeris. Mereka melolong seperti binatang liar. Saya
ketakutan. Para prajurit itu mengangkat senjata seperti hendak mencencang apa
saja yang ada di Puskesmas. Semua pegawai meloncat lari menyelamatkan
diri.
-tokoh
bayangan : Dokter John, perwira militer, Ibu dokter
Karena
dalam cerita dokter ini tokoh-tokoh tersebut hanya disebutkan namanya,tanpa muncul dan melakukan dialog.
ü Seperti
kata Dokter John Manansang yang malang-melintang di belantara Boven
Digul, masyarakat pedalaman cenderung menunda pergi ke dokter, karena lebih
dulu mau konsultasi ke dukun.
ü “Kami bisa panggil kawan-kawan yang lain
sekarang untuk bantu. Kami juga punya saudara yang jadi perwira militer.
Kita bisa pinjam senjata kalau memang perlu, asal habis jam kantor!”
ü Barang-barang saya jual satu per satu sampai
saya kehilangan segala-galanya. Termasuk cincin pemberian ibu saya.
Sementara itu kondisi kesehatan di daerah terpencil tambah rawan. Frekuensi
orang mati terus saja bertambah dan semuanya dibawa ke Puskesmas, minta agar
saya mengobatinya.
6)Perwatakan
Metode
dramatik : dialog dan tindakan tokoh
-
Dokter : Baik dan penakut (Protagonis)
Karena
bingung saya mundur menghampiri meja. Dengan panik, di belakang punggung tangan
saya meraba-raba mencari sesuatu untuk bertahan. Kalau saya harus mati, saya
tidak mau mati terlalu konyol. Kalau kalah, kalahlah dengan indah dan gagah,
pesan orang tua saya waktu kecil.
Harapan
saya ada gunting, pisau atau barang tajam lainnya, tidak terkabul. Di laci,
tangan saya hanya menemukan
copotan besi bendera mobil yang dikibarkan pada peringatan hari kemerdekaan. Saya genggam besi itu,
lalu mencoba mengambil posisi bertahan. Saya bukan lagi dokter, saya penakut yang tiba-tiba begitu mencintai hidup
walau betapa pun brengseknya.
-Putra
Bapa : keras kepala dan pemberani (tritagonis)
“Kehormatan
buat kami paling penting. Kami boleh kelaparan karena tidak dapat binatang perburuan, boleh mati karena wabah
penyakit, boleh kocar-kacir karena kebakaran,
gempa, banjir, longsor atau letusan
gunung berapi, tapi jangan sampai kalah dan menanggung
malu."
Bapa
orang kebal yang selalu menang dalam pertempuran . Dia tidak boleh mati karena senjata lawan.
Kehormatan kami akan hilang selama-lamanya. Lebih baik kami musnah daripada menanggung
malu karena kalah!”
“Saya
paham itu.”
“Kalau begitu
hidupkan lagi Bapa.”
“Saya sudah berusaha.”
“Kami tidak mau hanya usaha. Kami mau ada hasil!”
“Tapi .. “.
“Kalau
satu hari tidak cukup, kami bisa tunggu. Bila perlu sebulan atau setahun kami
bisa tunggu di sini, asal dia bisa
hidup lagi. Bapa saya itu raja. Apa artinya orang-orang ini, kalau Bapa tidak ada?”
-Keluarga
pasien : keras kepala (antagonis)
“Pak Dokter harus tolong kami. Dia itu kepala
keluarga. Hidup-mati kami tergantung pada dia!”
“Tapi sudah terlambat.”
“Terlambat bagaimana, kami sudah bawa ke mari pakai
taksi! Uang kami sudah banyak keluar!”
“Tapi sebelum dibawa ke mari nampaknya dia sudah tidak
ada!”
“Itu tidak mungkin! Setiap hari lima orang dukun kami
bergantian menjaga dia Tidak mungkin roh jahat itu bisa masuk lagi. Pak Dokter
mesti keluarkan ular itu dari perutnya!”
“Kalau toh itu benar ada ular dikirim ke perutnya,
tidak ada gunanya, sebab orangnya sudah meninggal.”
“Makanya keluarkan ular itu cepat, Pak Dokter jangan
ngomong terus!”
“Kami memang miskin, tidak bisa bayar, tapi ini
kewajiban Dokter mesti tolong kita punya kepala keluarga!”
“Jangan bikin kami tambah susah Dokter!
Mentang-mentang kami orang kecil!”
“Cepat
bertindak!”
-Dukun
: Rakus
Orang-orang
itu terdiam. Mereka hanya memandang amplop yang saya berikan. Tapi kemudian dukun perlahan-lahan maju. Ia
memperhatikan amplop yang saya tunjukkan. Diendus-endusnya dari jauh. Setelah mengucapkan mantera lalu
ia mengulurkan japit untuk mengambilnya. Setelah merobek dan mengeluarkan isinya, ia menghitung. Bahkan sampai
tiga kali. Kemudian ia melihat kepada
orang-orang itu, lantas membagikan uang sambil menahan beberapa di tangannya.
7)Sudut pandang
Sudut
pandang orang pertama (saya) dan juga menggunakan sudut pandang author
partisipan (pengaranag sebagai pelaku
dalam cerita).
Seperti kata Dokter John Manansang
yang malang-melintang di belantara Boven Digul, masyarakat pedalaman cenderung
menunda pergi ke dokter, karena lebih dulu mau konsultasi ke dukun.
Kalau yang
sakit sudah sekarat, baru dibawa ke Puskesmas. Biasanya pasien parah langsung
diinfus, sehingga ketika maut tiba, masyarakat cenderung melihan jarum infuslah
yang sudah membunuh. Sulit menjelaskan kalau sudah ajal, tanpa diinfus atau
tidur di hotel bintang lima, manusia tetap mati.
Pada suatu malam, saya dijemput untuk mengobati
orang yang menurut dukun dapat kiriman ular berbisa dalam perutnya. Ketika
sampai di Puskesmas, saya lihat tubuh orang itu sudah kaku. Dia pasti sudah
meninggal di rumahnya. Tetapi keluarganya memaksa saya untuk mengeluarkan ular
itu.
8) Alur / plot:
ü
Alur maju
Karena
cerpen dokter ini menceritakan tentang kisah dokter yang bekerja di pedalaman yang
masyarakatnya masih belum mengerti tentang fungsi dokter dan lebih percaya
kepada dukun sehingga menimbulkan masalah atau konflik,sampai pada akhirnya
konflik
tersebut
berhasil diatasi.
9) Gaya
bahasa
a. Metafora
Ø Tidur untuk
selamanya (Meninggal)
Ø Kaca mata orang yang sinis
(dia tidak memandang bagaimana orang kota
memandang,tapi lebih memandang bahwa mereka adalah orang yang membutuhkan)
Ø Tiang
kehidupan (kepala keluarga)
Ø Tulang
pungung keluarga (pemberi nafkah)
Ø Kapal tidak
bisa jalan tanpa nahkoda (kelompok tak bisa berkembang tanpa pemimpin)
Ø Mukanya
langsung keruh (raut wajahnya berubah menjadi kecewa atau cemberut)
b. Hiperbola
Ø Suara
menggeledek ( berteriak dengan keras)
c.Personifikasi
Ø “Ia seakan
akan terpukul oleh suara saya” (suara itu menyakitinya)
10) Amanat :
bekerjalah
sesuai keahlian,dan jangan pernah membohongi banyak orang hanya untuk
menyelesaikan masalah,karena hal itu bisa saja mendatangkan masalah baru yang
lebih rumit untuk diselesaikan.
STRUKTUR
v
abstrak :
seperti yang diketahui bahwa abstrak
merupakan inti atau ringkasan cerita yang di kembangkan menjadi rangkaian
peristiwa. Pada cerpen ini kami mengambil abstraksi ini karena bagian ini
menjelasan secara keseluruhan jalan cerita yang terjadi, seperti apa yang tidak
bisa di atasi oleh ilmu kedokteran dan bagaimana kehidupan masyarakat pedalaman
yang lebih mempercayai dukun daripada dokter. Dan ketika mereka sekarat barulah
pergi ke puskesmas dan ketika meninggal di puskesmas mereka malah mengatakan
puskesmaslah sebagai pembunuh.
Banyak
yang tidak bisa diatasi oleh ilmu kedokteran. Bagaimana pembuahan di luar
rahim, dalam bayi tabung, dipastikan akan menumbuhkan janin ketika dicangkok ke
rahim ibu? Virus influenza, HIV, flue burung sampai sekarang masih dicari
obatnya. Di luar itu masih ada musuh bayangan yang ampuh: dukun.
Seperti
kata Dokter John Manansang yang malang-melintang di belantara Boven Digul,
masyarakat pedalaman cenderung menunda pergi ke dokter, karena lebih dulu mau
konsultasi ke dukun.
Kalau
yang sakit sudah sekarat, baru dibawa ke Puskesmas. Biasanya pasien parah
langsung diinfus, sehingga ketika maut tiba, masyarakat cenderung melihan jarum
infuslah yang sudah membunuh. Sulit menjelaskan kalau sudah ajal, tanpa diinfus
atau tidur di hotel bintang lima, manusia tetap mati.
v Orientasi
:
Seperti
diketahui orientasi merupakan pengenalan latar cerpen dan kami mengambil
orientasi ini karena disini sudah dijelaskan bahwa suatu malam datang sebuah
keluarga ke puskesmas yang membawa keluarganya yang katanya oleh dukun didalam
perutnya ada ular, padahal pasien tersebut sudah meninggal karena salah minum
ramuan dukun namun mereka tetap meminta
dokter untuk menghidupkanya walaupun dokter sudah membuktikan tidak ada ular
dalam perut pasien tersebut, tetapi mereka tetap ingin pasien hidup dan
menyalahkan dokter bahwa ini kesalahanya yang terlambat melakukan pertolongan
disini mereka ricuh berdebat dengan dokter dan terus saja menyalahkan dokter
sampai ahirnya dokter memberi mereka uang dengan mengatakan itu amanat dari
keluarga mereka yang meninggal, dukun beserta keluarga pasien mengambil uang
tersebut tanpa berkata apapun. Sejak saat itu dokter diminta mengobati orang
mati (Mayat)
Pada suatu malam, saya dijemput untuk mengobati
orang yang menurut dukun dapat kiriman ular berbisa dalam perutnya. Ketika
sampai di Puskesmas, saya lihat tubuh orang itu sudah kaku. Dia pasti sudah
meninggal di rumahnya. Tetapi keluarganya memaksa saya untuk mengeluarkan ular
itu.
“Pak Dokter harus tolong kami. Dia itu kepala
keluarga. Hidup-mati kami tergantung pada dia!”
“Tapi sudah terlambat.”
“Terlambat bagaimana, kami sudah bawa ke mari
pakai taksi! Uang kami sudah banyak keluar!”
“Tapi sebelum dibawa ke mari nampaknya dia
sudah tidak ada!”
“Itu tidak mungkin! Setiap hari lima orang
dukun kami bergantian menjaga dia Tidak mungkin roh jahat itu bisa masuk lagi.
Pak Dokter mesti keluarkan ular itu dari perutnya!”
“Kalau toh itu benar ada ular dikirim ke
perutnya, tidak ada gunanya, sebab orangnya sudah meninggal.”
“Makanya keluarkan ular itu cepat, Pak Dokter
jangan ngomong terus!”
“Kami memang miskin, tidak bisa bayar, tapi ini
kewajiban Dokter mesti tolong kita punya kepala keluarga!”
“Jangan bikin kami tambah susah Dokter!
Mentang-mentang kami orang kecil!”
“Cepat bertindak!”
Saya disumpah untuk menjalankan praktek sesuai
dengan ethik kedokteran. Tetapi di dalam hutan, itu tidak berlaku. Saya bisa
dibunuh kalau tidak melakukan apa yang mereka minta, karena saya dokter, saya
dianggap wajib bisa menyembuhkan orang sakit.
Disaksikan keluarganya, saya bedah mayat itu.
Saya buktikan tidak ada ular di perutnya seperti kata dukun. Dia mati karena
kurang gizi dan salah menegak ramu-ramuan dukun. Tetapi meskipun sudah melihat
kenyataan dengan mata kepalanya sendiri, keluarganya tidak percaya. Mereka
malah menuduh saya yang sudah terlambat bertindak.
“Kalau pak Dokter langsung bertindak tadi,
tidak akan terlambat.”
“Terlambat bagaimana?!”
“Kata dukun, ular itu sudah masuk ke dalam
tulang-sumsumnya bersatu dengan darah. Di bawa ke China pun dia akan tetap
mati, apalagi hanya ke Puskesmas yang fasilitasnya brengsek ini. Dokter tidak
bertanggungjawab!”
“Dokter harus bertindak!”
“Bertindak bagaimana lagi? Paling banter saya
bisa menulis surat kematian pasien supaya bisa dibawa pulang!”
“Tidak bisa! Kita tidak bisa bawa dia pulang
dalam keadaan sudah jadi mayat. Dia harus terus hidup! Dia kita bawa ke mari
untuk maksud supaya dia bisa sembuh. Masak Dokter mau kirim lagi dia pulang
supaya jadi mayat. Kasihan keluarganya, Dokter! Dia itu andalan hidup
keluarganya, tahu?! Dia tidak boleh mati!”
“Tapi ajal itu di tangan Tuhan, kita hanya bisa
berusaha!”
“Makanya kau harus berusaha terus Dokter!”
“Berusaha bagaimana lagi?”
“Panggil! Kejar sekarang!”
“Kejar ke mana?”
“Ayo kejar! Kata dukun dia belum jauh. Paling
berapa kilometer. Kalau Dokter cepat bertindak, tidak cuma ngobrol, dia pasri
bisa disusul!”
“Disusul?”
“Ah, kau lambat sekali. Beta bilang kejar!
Kejar!”
Mereka mendorong saya masuk ke dalam kamar,
memaksa saya menarik orang mati itu kembali dari kematiannya. Mereka bahkan
bilang siap membantu saya dengan senjata kalau nantinya harus berkelahi.
“Kami bisa panggil kawan-kawan yang lain
sekarang untuk bantu. Kami juga punya saudara yang jadi perwira militer. Kita
bisa pinjam senjata kalau memang perlu, asal habis jam kantor!”
“Ayo Pak Dokter, jangan terlalu banyak diskusi,
nanti terlambat lagi! Kau ini dokter atau mantri?!”
Saya terpaksa kembali ke dekat mayat itu.
Sepanjang malam mereka berjaga di sekitar Puskesmas dengan segala macam senjata
siap tempur. Ada yang menangis, berdoa dan menyanyi. Dukun pun terus
menjalankan upacara, mengeluarkan jampi-jampi agar roh yang mereka anggap sudah
diculik suku lain itu pulang.
Saya bingung. Saya duduk di sisi mayat
kehabisan akal. Apa yang harus saya lakukan untuk keluar dari persoalan yang
tidak menyangkut bidang kedokteran itu. Saya tidak mengerti kehidupan di alam
gaib. Akhirnya saya tertidur juga karena terlalu capek.t
Pagi-pagi pintu digedor. Orang-orang itu
berteriak-teriak tidak sabar, ingin tahu apa hasilnya. Tubuh yang meninggal pun
sudah mulai berbau. Wajahnya meringis kesakitan, seakan-akan minta cepat-cepat
dikuburkan. Waktu itu saya tidak berpikir lagi seperti seorang dokter
sebagaimana yang saya pelajari di kampus. Saya terpaksa menjadi dukun.
Saya rogoh saku, gaji yang saya hendak kirim ke
rumah masih utuh. Lalu saya buka pintu.
“Bagaimana?”
“Tenang!”
“Tenang bagaimana? Kami tidak mau Dokter bilang
sudah gagal!”
“Saya sudah berusaha..”
“Dan hasilnya?”
“Lumayan.”
“Ah, apa itu itu artinya lumayan, kita orang
tidak suka! Itu bahasa orang birokrat yang suka menipu. Bilang saja
terus-terang, berhasil atau tidak?”
“Berhasil.”
Mereka tercengang.
“Jadi dia hidup lagi?”
“Bapak-bapak mau dia hidup lagi atau tidak?”
“Sudah pasti kita mau dia orang hidup lagi. Itu
maka kita bawa dia ke mari!”
“Saya sudah mencoba.”
“Terus hasilnya?”
“Itu, ” kata saya menunjuk pada mayat.
Semuanya melihat melewati tubuh saya ke arah
mayat itu. Saya berikan ruang agar mereka lewat, tapi tidak ada yang mau. Bau
mayat itu menyebabkan semuanya tertegun. Dukun sendiri malah mundur selangkah..
Mereka semua nampak bimbang. Kebimbangan itu justru membangkitkan keberanian saya.
Saya mulai tahu apa yang harus dilakukan.
“Ayo!”
Orang-orang itu tambah ragu-ragu, tak percaya
apa yang saya katakan. Tak percaya apa yang sedang mereka lihat.
“Jadi dia hidup lagi?”
Saya mengangguk. Mereka curiga. Tapi tidak ada
yang berani memeriksa..
“Kalau dia hidup mengapa tidak bergerak?”
“Dan mengapa bau?”
“Tadi dia sudah hidup, sekarang sedang tidur.”
“Tidur?”
“Ya.. Tidur untuk selamanya.”
“Apa?!!!!”
“Tapi dia meninggalkan pesan.”
“Pesan apaan!? Kita tidak perlu pesan, kita
hanya mau supaya dia hidup lagi!!!”
Saya tidak peduli apa yang mereka katakan. Lalu
saya mengulurkan amplop uang gaji itu.
“Kata dia sebelum tidur, berikan ini kepada
istri, anak-anak dan keluargaku yang aku tinggalkan. Sampaikan kepada mereka,
tenang semua, biarkan aku istirahat sekarang, karena aku sudah lelah sekali,
puluhan tahun berjuang menghidupi keluarga, aku tidak sanggup lagi bekerja!”
Orang-orang itu terdiam. Mereka hanya memandang
amplop yang saya berikan. Tapi kemudian dukun perlahan-lahan maju. Ia
memperhatikan amplop yang saya tunjukkan. Diendus-endusnya dari jauh. Setelah
mengucapkan mantera lalu ia mengulurkan japit untuk mengambilnya. Setelah
merobek dan mengeluarkan isinya, ia menghitung. Bahkan sampai tiga kali.
Kemudian ia melihat kepada orang-orang itu, lantas membagikan uang sambil
menahan beberapa di tangannya.
Orang-orang itu menerima uang tanpa menanyakan
apa-apa. Seakan-akan itu memang sudah hak mereka. Setelah dukun mengeluarkan
mantera, mereka lalu bergerak. Beberapa orang menyanyi, yang lain menghampiri
mayat, lalu membawa yang meninggal itu dengan tertib keluar dari Puskesmas
untuk dikuburkan.
Saya sama sekali tidak ingin mengatakan, bahwa
saya sudah berhasil membeli kesedihan mereka dengan uang. Tidak. Saya sama
sekali tidak melihat persoalan itu dari kaca-mata orang kota yang sinis.
Apalagi jumlah yang saya berikan juga tidak banyak. Saya hanya mencoba memahami
itu sebagai akibat ulah saya yang berhasil berbicara, menyampaikan duka yang
amat berat bagi mereka itu, dengan bahasa yang mereka pahami.
“Barangkali mereka senang karena saya tidak
menyalahkan dukun. Puas karena saya tidak mencela mereka terlambat membawa sang
sakit ke Puskesmas. Tidak melecehkan keberatan atau protes mereka pada nasib,
karena yang meninggal memang benar-benar dibutuhkan oleh keluarganya sebagai
tiang kehidupan. Mungkin juga mereka senang karena saya tidak mengabaikan
perasaan-perasaan mereka, karena saya tidak menganggap kebenaran kota sayalah
yang paling benar.”
Tapi setelah itu banyak perubahan yang terjadi.
Saya jadi terseret ke dalam situasi yang membuat saya lebih gagap. Saya
ternyata sudah mengayunkan langkah ke dunia yang sama sekali asing. Begitu
kejeblos, saya langsung kelelap, lantaran saya sama sekali tidak siap.
Sejak itu saya sering diminta untuk
mengobati mayat. Profesi saya sebagai dokter yang harus berhadapan dengan orang yang mau bertahan hidup, berubah
menjadi pengurus orang mati. Walhasil saya sudah menyalahi sumpah. Berkhianat dan berdosa kepada almamater
saya.
v Komplikasi
Komplikasi merupakan urutan kejadian cerita
yang dihubungkan sebab aikbat, kami mengambil komplikasi ini karena dalam tahap
komplikasi sejak sang dokter dipercayai bisa menghidupkan mayat sejak saat itu
banyak yang berdatangan dan setiap dokter mengobati mayat ia selalu merogoh
sakunya. Sehingga membuatnya cepat
bangkrut. Namun ketika mayat kepala suku datang ke puskesmas dengan
kepala dan tubuhnya terpisah ia sangat cemas dan takut mereka kecewayang
awalnya sang dokter berpura mnjadi dukut hanya agar nyambung dengan penduduk
desa malah harus menjadi dukun sungguhan, dokter ningung bagaimana menghadapinya dan tidak mungkin ia
akan menyenangkan hati anak kepala suku yang kaya raya dengan uang anak kepala
suku terus bersi keras menyuruh dokter menghidupkan bapanya lagi apapun akan
dilakukakan asalkan bapanya hidup, dokter takut mengecewakanya walaupun pada
ahirnya dokter mengatakan sebenarnya yang membuat anak kepala suku dan
pengikutnya marah dan mengangkat senjatanya membuat dokter danpegawainya takut.
Tak jarang yang dibawa pada saya mayat dukun
yang sebelum mati sudah berkali-kali wanti-wanti agar nanti dibawa ke
Puskesmas. Kalau saya tolak, bisa jadi konflik, karena saya sudah terlanjur
dipercaya. Saya sudah memulai dan membangun sesuatu, kalau saya runtuhkan lagi,
saya akan berhadapan dengan kekecewaan dan bukan tidak mungkin kekerasan.
Setiap kali mengobati mayat, saya tidak punya
kiat lain kecuali saya harus merogoh saku, mengeluarkan duit. Mengulur semacam
pelipur, atau apa sajalah namanya, untuk mentolerir duka yang tak bisa mereka
elakkan. Akibatnya saya cepat sekali bangkrut.
Barang-barang saya jual satu per satu sampai
saya kehilangan segala-galanya. Termasuk cincin pemberian ibu saya. Sementara
itu kondisi kesehatan di daerah terpencil tambah rawan. Frekuensi orang mati
terus saja bertambah dan semuanya dibawa ke Puskesmas, minta agar saya
mengobatinya.
Pernah saya sampai berpikir itu sudah sampai
pada tingkat pemerasan. Saya tidak percaya orang-orang pedalaman itu sesungguhnya
sebodoh itu. Itu bukan kebodohan lagi tetapi justru kecerdasan. Itu kiat yang
dengan lihai menyembunyikan dirinya di balik keluguan. Strategi “orang bodoh”
untuk membunuh lawan pintar yang lebih kuasa dengan halus.
Pada suatu malam, muncul di Puskesmas mayat
seorang kepala suku. Badannya penuh dengan luka parang. Kepalanya sudah putus
dari tubuhnya. Rombongan pengantarnya banyak sekali. Hampir seluruh suku ikut
mengarak memenuhi halaman Puskesmas
“Kami berkelahi mempertahankan kehormatan kami
dari serangan suku buas., “kata putra kepala suku, “Sebelum perang, Bapa sudah
berpesan kalau terjadi apa-apa supaya dibawa ke mari. Tolong hidupkan Bapa
kami, Dokter, karena kalau sampai dia mati, berarti kami kalah dan malu besar!
Kami mempertaruhkan kehormatan seluruh warga kami!”
Saya termenung di depan mayat itu. Kepalanya
bisa saya sambung, tapi ke mana saya cari ganti nyawanya yang hilang? Para
pejuang suku itu berjaga-jaga di sekitar Puskesmas dengan senjata-senjata
mereka. Banyak di antaranya yang terluka, tetapi mereka tidak peduli. Mereka
hanya ingin kepala sukunya kembali hidup supaya pertempuran bisa dilanjutkan.
Saya bingung. Tak ada duit sepeser pun lagi di
kantong. Lebih dari itu, duit tak akan mungkin dapat menyenangkan hati suku
kaya yang merasa dipermalukan itu.
Saya benar-benar cemas. Saya kira karir saya
sebagai dokter sudah tamat. Di samping itu akhir hidup saya juga nampak sudah
tiba. Mereka pasti akan kecewa sekali, karena saya memang bukan dukun yang
sebenarnya.
Perasaan berdosa yang sejak lama sudah menekan,
sekarang menghajar saya. Saya sudah berpura-pura jadi dukun, agar bisa nyambung
dengan masyarakat, tetapi ternyata tidak cukup. Saya dituntut menjadi dukun
yang sebenarnya. Itu mustahil. Mestinya saya sudah cabut sejak kasus pertama.
Semalam suntuk saya tidak bisa memejamkan mata.
Subuh, pintu dibuka dan anak kepala suku beserta seluruh prajurinya yang berang
itu menatap saya.
“Berhasil Dokter?”
Tubuh saya gemetar.
“Jangan kecewakan kami Dokter!
Saya tidak berani menjawab.
“Kehormatan buat kami paling penting. Kami
boleh kelaparan karena tidak dapat binatang perburuan, boleh mati karena wabah
penyakit, boleh kocar-kacir karena kebakaran, gempa, banjir, longsor atau
letusan gunung berapi, tapi jangan sampai kalah dan menanggung malu.
Bapa orang kebal yang selalu menang dalam
pertempuran . Dia tidak boleh mati karena senjata lawan. Kehormatan kami akan
hilang selama-lamanya. Lebih baik kami musnah daripada menanggung malu karena
kalah!”
“Saya paham itu.”
“Kalau begitu hidupkan lagi Bapa.”
“Saya sudah berusaha.”
“Kami tidak mau hanya usaha. Kami mau ada
hasil!”
“Tapi .. “.
“Kalau satu hari tidak cukup, kami bisa tunggu.
Bila perlu sebulan atau setahun kami bisa tunggu di sini, asal dia bisa hidup
lagi. Bapa saya itu raja. Apa artinya orang-orang ini, kalau Bapa tidak ada?”
“Ya itu saya juga mengerti sekali. Kapal tidak
bisa jalan tanpa nakhoda!”
“Makanya hidupkan lagi Bapaku. Otaknya rusak
juga tidak apa, asal hidup. Bapa saya itu lambang. Kami semua ada karena dia
hidup. Kalau dia mati, kami semua akan mati. Apa Dokter perlu nyawa pengganti?”
“Apa?”
“Sepuluh bahkan seratus orang dari kami
sekarang juga mau menyerahkan nyawanya asal bisa menggantikan nyawa Bapa.
Hidupkan dia sekarang Dokter!”
“Darah tumpah itu bisa diganti dengan tranfusi,
tapi nyawa tidak mungkin.”
“Tapi kau Dokter kan?!”
“Betul.”
“Orang-orang lain mati sudah kau hidupkan,
kenapa bapa kami tidak? Apa bedanya? Bapaku itu selalu cinta perdamaian. Dia
cinta kami semua. Dia selalu menyanyikan lagu kebangsaan dan memimpin upacara
bendera, tidak seperti orang-orang lain yang pura-pura saja cinta supaya dapat
uang dari negara, tapi cintanya palsu. Kenapa orang yang berjuang seperti Bapa
dibiarkan mati? Ayo Dokter!”
Saya tidak sanggup menjawab.
“Dokter mau biarkan aku punya Bapa mati?”
“Tidak.”
“Kalau begitu hidupkan dia sebab dia sangat
mencintai negara! Mengapa orang-orang yang tidak mencintai negara dibiarkan
hidup tapi Bapaku yang berjuang untuk negara tidak? Tolong Dokter!”
“Beliau sekarang akan meneruskan perjuangan
dari dunia maya, supaya musuh dapat diberantas.”
Anak kepala suku itu kaget.
“Maksud Dokter Bapaku mati?”
Saya
tidak mampu menjawab. Anak kepala suku itu sangat kcewa. Mukanya langsung
keruh. Semua pengikutnya marah lalu berteriak-teriak histeris. Mereka melolong
seperti binatang liar. Saya ketakutan. Para prajurit itu mengangkat senjata
seperti hendak mencencang apa saja yang ada di Puskesmas. Semua pegawai
meloncat lari menyelamatkan diri.
v Evaluasi :
Evaluasi merupakan struktur konflik yang
mengarah pada klimaks (mulai mendapat pemecahan) kami mengambil orientasi ini
karena disini sang dokter yang takut dengan kemarahan anak kepala suku beserta
pengikutnya mulai berfikir akan melakukan perlawanan dengan mencari benda tajam
didalam lacinya, ia menemukan copotan besi bendera mobil yang dikibarkan pada
hari kemerdekaan, anak kepala suku mendekatinya namun dengan gemetar ia
mengangkat besi bendera itu.
Karena bingung saya mundur menghampiri meja.
Dengan panik, di belakang punggung tangan saya
meraba-raba mencari sesuatu untuk bertahan.
Kalau saya harus mati, saya tidak mau mati terlalu
konyol. Kalau kalah, kalahlah dengan indah dan
gagah, pesan orang tua saya waktu kecil.
Harapan
saya ada gunting, pisau atau barang tajam lainnya, tidak terkabul. Di laci,
tangan saya
hanya menemukan copotan besi bendera mobil yang
dikibarkan pada peringatan hari kemerdekaan.
Saya genggam besi itu, lalu mencoba mengambil
posisi bertahan. Saya bukan lagi dokter, saya penakut
yang tiba-tiba begitu mencintai hidup walau
betapa pun brengseknya. .
“Diam!!!!” teriak anak kepala suku itu dengan
suara menggeledek.
Teriakannya
membuat semua terdiam. Saya gemetar. Besi bendera itu terlepas, tetapi cepat
saya
gapai lagi, itulah satu-satunya pegangan saya.
Anak kepala suku itu menghampiri saya, hangat nafasnya
membuat saya tersiraf.
“Jangan tembak!!!”
Dengan gemetar saya tunjukkan tiang bendera
itu.
v Resolusi
Pada resolusi pengarang akan mengngungkapkan
solusi dari konflik yang dialami tokoh, pada resolusi kami ini ternyata dengan
mengangkat tiang bendera tersebut membuat anak kepala suku tertegun, dan
memperhatikan bendera tersebut dan dokter mengambil kesempatan tersebut dengan
keberaniannyamengatakan pahlawan tidak pernah mati semangat berjuang tidak
pernah mati, anak kepala suku terpesona, kemudian meraih tiang bendera itu yang
membuat dokter ketakutan namuna anak kepala suku malah menunjukkan kepada
teman-temannya , mengatakan apa yang dikatakan dokter.
Anak Kepala Suku tertegun. Ia memperhatikan
tiang bendera yang berisi merah-putih kecil yang
sudah kumal. Tiba-tiba saya melihat peluang.
Lalau entah darimana datangnya keberanian, saya
berbisik.
“Pahlawan tidak pernah mati. Semangat berjuang
tidak bisa mati!”
Pemuda
itu terpesona. Ia seakan-akan terpukul oleh suara saya. Orang-orang lain pun
tegang. Mereka memandang kami dengan mata
mencorong. Lutut saya tambah lemas. Saya
tak sanggup lagi bicara. Apa pun yang akan
terjadi, saya menyerah.
Anak
kepala suku itu menggapai tiang bendera. Saya kira sebentar lagi dia akan
menusukkannya ke dada saya. Tapi ajaib, tidak.
Pangeran itu memandang bendera
kecil itu dengan takjub, lalu ia menunjukkan
kepada teman-temannya.
“Semangat berjuang hidup terus tidak bisa
mati!” serunya.
Sedetik
hening. Tetapi kemudian semua meledak, bersorak gegap-gempita.
Kemudian dengan khusuk mereka mengusung jasad
almarhum dibawa ke desa mereka
untuk dikebumikan.
v Koda
Akhir cerita atau nilai-nilai yang dapat di
petik dari cerita dokter ini yaitu :
Sejak
itu bukan orang mati, tetapi orang yang tidak mau mati yang datang ke
Puskesmas. Mereka tidak hanya mencari obat, tetapi terutama kasih-sayang. Kalau
pun kemudian karena sudah ajal, ada orang sakit yang mati, tapi Puskesmas tidak
pernah lagi dianggap sebagai pembunuh. Saya sendiri tidak peduli lagi apakah
saya masih seorang dokter atau sudah jadi dukun, saya hanya ingin mencintai
saudara-saudara saya itu.
RANGKUMAN
CERITA
Seperti kata Dokter John
Manansang yang malang-melintang di belantara Boven Digul, masyarakat pedalaman
cenderung menunda pergi ke dokter, karena lebih dulu mau konsultasi ke dukun.
Kalau yang sakit sudah
sekarat, baru dibawa ke Puskesmas. Biasanya pasien parah langsung diinfus,
sehingga ketika maut tiba, masyarakat cenderung melihan jarum infuslah yang
sudah membunuh. Sulit menjelaskan kalau sudah ajal, tanpa diinfus atau tidur di
hotel bintang lima, manusia tetap mati.
Pada suatu malam, saya
dijemput untuk mengobati orang yang menurut dukun dapat kiriman ular berbisa
dalam perutnya. Ketika sampai di Puskesmas, saya lihat tubuh orang itu sudah
kaku. Dia pasti sudah meninggal di rumahnya. Tetapi keluarganya memaksa saya
untuk mengeluarkan ular itu.
Disaksikan keluarganya,
saya bedah mayat itu. Saya buktikan tidak ada ular di perutnya seperti kata
dukun. Dia mati karena kurang gizi dan salah menegak ramu-ramuan dukun. Tetapi
meskipun sudah melihat kenyataan dengan mata kepalanya sendiri, keluarganya
tidak percaya. Mereka malah menuduh saya yang sudah terlambat bertindak.
Saya terpaksa kembali ke
dekat mayat itu. Sepanjang malam mereka berjaga di sekitar Puskesmas dengan
segala macam senjata siap tempur. Ada yang menangis, berdoa dan menyanyi. Dukun
pun terus menjalankan upacara, mengeluarkan jampi-jampi agar roh yang mereka
anggap sudah diculik suku lain itu pulang.
Saya bingung. Saya duduk
di sisi mayat kehabisan akal. Apa yang harus saya lakukan untuk keluar dari
persoalan yang tidak menyangkut bidang kedokteran itu. Saya tidak mengerti
kehidupan di alam gaib. Akhirnya saya tertidur juga karena terlalu capek.t
Pagi-pagi pintu digedor.
Orang-orang itu berteriak-teriak tidak sabar, ingin tahu apa hasilnya. Tubuh
yang meninggal pun sudah mulai berbau. Wajahnya meringis kesakitan, seakan-akan
minta cepat-cepat dikuburkan. Waktu itu saya tidak berpikir lagi seperti
seorang dokter sebagaimana yang saya pelajari di kampus. Saya terpaksa menjadi
dukun.
Saya rogoh saku, gaji
yang saya hendak kirim ke rumah masih utuh. Lalu saya buka pintu.
“Kata dia sebelum tidur, berikan
ini kepada istri, anak-anak dan keluargaku yang aku tinggalkan. Sampaikan
kepada mereka, tenang semua, biarkan aku istirahat sekarang, karena aku sudah
lelah sekali, puluhan tahun berjuang menghidupi keluarga, aku tidak sanggup
lagi bekerja!”
Orang-orang itu terdiam.
Mereka hanya memandang amplop yang saya berikan. Tapi kemudian dukun
perlahan-lahan maju. Ia memperhatikan amplop yang saya tunjukkan.
Diendus-endusnya dari jauh. Setelah mengucapkan mantera lalu ia mengulurkan
japit untuk mengambilnya. Setelah merobek dan mengeluarkan isinya, ia
menghitung. Bahkan sampai tiga kali. Kemudian ia melihat kepada orang-orang
itu, lantas membagikan uang sambil menahan beberapa di tangannya.
Orang-orang itu menerima
uang tanpa menanyakan apa-apa. Seakan-akan itu memang sudah hak mereka. Setelah
dukun mengeluarkan mantera, mereka lalu bergerak. Beberapa orang menyanyi, yang
lain menghampiri mayat, lalu membawa yang meninggal itu dengan tertib keluar
dari Puskesmas untuk dikuburkan.
Sejak itu saya sering
diminta untuk mengobati mayat. Profesi saya sebagai dokter yang harus
berhadapan dengan orang yang mau bertahan hidup, berubah menjadi pengurus orang
mati. Walhasil saya sudah menyalahi sumpah. Berkhianat dan berdosa kepada
almamater saya.
Pada suatu malam, muncul
di Puskesmas mayat seorang kepala suku. Badannya penuh dengan luka parang.
Kepalanya sudah putus dari tubuhnya. Rombongan pengantarnya banyak sekali.
Hampir seluruh suku ikut mengarak memenuhi halaman Puskesmas
Saya termenung di depan
mayat itu. Kepalanya bisa saya sambung, tapi ke mana saya cari ganti nyawanya
yang hilang? Para pejuang suku itu berjaga-jaga di sekitar Puskesmas dengan
senjata-senjata mereka. Banyak di antaranya yang terluka, tetapi mereka tidak
peduli. Mereka hanya ingin kepala sukunya kembali hidup supaya pertempuran bisa
dilanjutkan.
Saya bingung. Tak ada
duit sepeser pun lagi di kantong. Lebih dari itu, duit tak akan mungkin dapat
menyenangkan hati suku kaya yang merasa dipermalukan itu.
Saya benar-benar cemas.
Saya kira karir saya sebagai dokter sudah tamat. Di samping itu akhir hidup
saya juga nampak sudah tiba. Mereka pasti akan kecewa sekali, karena saya
memang bukan dukun yang sebenarnya.
Semalam suntuk saya tidak
bisa memejamkan mata. Subuh, pintu dibuka dan anak kepala suku beserta seluruh
prajurinya yang berang itu menatap saya.
“Berhasil Dokter?”
Tubuh saya gemetar.
“Jangan kecewakan kami
Dokter!
Saya tidak berani
menjawab.
“Kehormatan buat kami
paling penting. Kami boleh kelaparan karena tidak dapat binatang perburuan,
boleh mati karena wabah penyakit, boleh kocar-kacir karena kebakaran, gempa,
banjir, longsor atau letusan gunung berapi, tapi jangan sampai kalah dan
menanggung malu.
“Dokter mau biarkan aku
punya Bapa mati?”
“Tidak.”
“Kalau begitu hidupkan
dia sebab dia sangat mencintai negara! Mengapa orang-orang yang tidak mencintai
negara dibiarkan hidup tapi Bapaku yang berjuang untuk negara tidak? Tolong
Dokter!”
“Beliau sekarang akan
meneruskan perjuangan dari dunia maya, supaya musuh dapat diberantas.”
Anak kepala suku itu kaget.
“Maksud Dokter Bapaku
mati?”
Saya tidak mampu
menjawab. Anak kepala suku itu sangat kcewa. Mukanya langsung keruh. Semua
pengikutnya marah lalu berteriak-teriak histeris. Mereka melolong seperti
binatang liar. Saya ketakutan. Para prajurit itu mengangkat senjata seperti
hendak mencencang apa saja yang ada di Puskesmas. Semua pegawai meloncat lari
menyelamatkan diri.
Karena bingung saya
mundur menghampiri meja. Dengan panik, di belakang punggung tangan saya
meraba-raba mencari sesuatu untuk bertahan. Kalau saya harus mati, saya tidak
mau mati terlalu konyol. Kalau kalah, kalahlah dengan indah dan gagah, pesan
orang tua saya waktu kecil.
Harapan saya ada gunting,
pisau atau barang tajam lainnya, tidak terkabul. Di laci, tangan saya hanya
menemukan copotan besi bendera mobil yang dikibarkan pada peringatan hari
kemerdekaan. Saya genggam besi itu, lalu mencoba mengambil posisi bertahan.
Saya bukan lagi dokter, saya penakut yang tiba-tiba begitu mencintai hidup
walau betapa pun brengseknya. .
“Diam!!!!” teriak anak
kepala suku itu dengan suara menggeledek.
Teriakannya membuat semua
terdiam. Saya gemetar. Besi bendera itu terlepas, tetapi cepat saya gapai lagi,
itulah satu-satunya pegangan saya. Anak kepala suku itu menghampiri saya,
hangat nafasnya membuat saya tersiraf.
“Jangan tembak!!!”
Dengan gemetar saya
tunjukkan tiang bendera itu.
Anak Kepala Suku
tertegun. Ia memperhatikan tiang bendera yang berisi merah-putih kecil yang
sudah kumal. Tiba-tiba saya melihat peluang. Lalau entah darimana datangnya keberanian,
saya berbisik.
“Pahlawan tidak pernah
mati. Semangat berjuang tidak bisa mati!”
Anak
kepala suku itu menggapai tiang bendera. Saya kira sebentar lagi dia akan
menusukkannya ke dada saya. Tapi ajaib, tidak. Pangeran itu memandang bendera
kecil itu dengan takjub, lalu ia menunjukkan kepada teman-temannya.
“Semangat
berjuang hidup terus tidak bisa mati!” serunya.
Sedetik hening. Tetapi
kemudian semua meledak, bersorak gegap-gempita. Kemudian dengan khusuk mereka
mengusung jasad almarhum dibawa ke desa mereka untuk dikebumikan.
Sejak itu bukan orang
mati, tetapi orang yang tidak mau mati yang datang ke Puskesmas. Mereka tidak
hanya mencari obat, tetapi terutama kasih-sayang. Kalau pun kemudian karena
sudah ajal, ada orang sakit yang mati, tapi Puskesmas tidak pernah lagi
dianggap sebagai pembunuh. Saya sendiri tidak peduli lagi apakah saya masih
seorang dokter atau sudah jadi dukun, saya hanya ingin mencintai
saudara-saudara saya itu.
trimakasiiii <3
ReplyDelete